Gerbong kereta ekonomi sudah tiba. Kursi 90° tak begitu buruk bagi seseorang yang berjalan sendirian dengan minim budget. Tidak harus beli tiket mahal. Biarlah punggung ini pegal, kaki kesemutan, dan terlelap sebentar tepat berhadapan dengan orang tak dikenal. Apa yang aku cari dari perjalanan ini? Kurasa kalian tahu, sebuah awal Pelarian setelah hati yang patah adalah pemulihan. Apa dengan melarikan diri akan pulih? Entahlah.
Tanggal 17 Agustus 2019. Tepat saat hari kemerdekaan Indonesia. Dan saya sebaliknya, masih terjajah. Saya pergi setelah cukup lelah terjebak oleh rasa sakit hati dan terjebak oleh rutinitas yang memuakan. Sudah hampir satu tahun, tapi dengan bodohnya saya terus tidak memerdekakan diri. Membiarkan diri terjajah, padahal yang menjajah sudah enyah dari ruang ini. Melelahkan bukan?
Perjalanan 2 hari satu malam dimulai. Dengan modal uang 500rb saya minggat, dan memilih Jogja untuk kota pertama saya. Tidak perlu menunggu tabungan terkumpul, uang pas-pasan asal cukup untuk biaya transportasi dan makan saya cukup berani untuk memulai perjalanan. Karena saya disini untuk minggat bukan untuk liburan. Dan percayalah, minggat ini cukup membuat saya sadar bahwa hidup saya benar-benar monoton. Dan sejenak saya bisa melupakan ingatan tentang si penjajah yang masih bersarang itu.
Saya sampai dikota istimewa ini, dengan membawa tas ransel kecil dan totbag isi makanan. Mengambil kereta pagi dan sampai sore hari. Bandung-Jogja memakan waktu cukup lama, cukup pegal juga badanku dibuatnya. Sampai di Jogja aku tak tau harus bagaimana. Berencana bertemu dengan seorang teman ditengah kota. Keadaan waktu itu cukup ramai karena bertepatan dengan pesta rakyat hari kemerdekaan dan orang-orang tentunya akan keluar untuk merayakan. Kita bertemu dan hanya berjalan-jalan tidak jelas menyusuri trotoar Malioboro. Tidak belanja ataupun menyentuh barang. Yang saya lakukan hanya jalan, duduk lalu makan sate pinggir jalan. Mendengarkan orang tawar-menawar, suara kudu yang kelelahan dan ajakan tukang becak sepanjang jalan. Sambil menikmati suasana malam kota dan lalulalang manusia. Malioboro kala itu begitu terang dipenuhi lampu-lampu jalanan. Begitu ramai tapi tidak menyesakan, begitu berisik tapi tidak mengusik. Kota ini sepertinya tahu harus berjalan seperti apa. Maka ku buang semua beban yang berat , semua rasa yang menjerat, dan semua angan yang tersirat. Ku buang semua yang merugi, membebani, dan merusak diri.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Astronot
Aahhh menyebalkan. Apa aku harus jadi astronot biar bisa menggapaimu hey bintang. Ketika kecil dulu sempat cita-cita pertama yang terlintas ...
-
Gerbong kereta ekonomi sudah tiba. Kursi 90° tak begitu buruk bagi seseorang yang berjalan sendirian dengan minim budget. Tidak harus beli t...
-
Pernahkah kau minum Americano? aku baru pertama kali ketika minum bersamamu. Secangkir Americano waktu itu pahit tapi dengan melihatmu di de...
-
Aahhh menyebalkan. Apa aku harus jadi astronot biar bisa menggapaimu hey bintang. Ketika kecil dulu sempat cita-cita pertama yang terlintas ...

No comments:
Post a Comment