Monday, 12 October 2015

Kisah Lampu Jalanan Dan Hujan



Dalam rintikan hujan cahayanya mulai meredup. Bahkan dalam gelapnya sang malam, cahayanya sudah tak mampu lagi untuk menerangi jalan yang ada didepannya. Tak ada lagi yang tertarik padanya. Dan bahkan tak ada lagi orang yang peduli untuk mengganti lampunya. Perlahan waktuk memaksa jiwanya untuk berhenti berpijar. Luka dan karat yang ditimbulkan oleh hujanpun kini kian menghardiknya tanpa ragu. Dalam cahaya terakhirnya ia menjawab pertanyaanku.. "Aku hanya lampu jalanan, aku hanya selalu menunggu malam datang. Aku hidup dalam sebuah kisah yang tak pernah menceritakan apa-apa. Aku dulu menerangi. Hingga pada akhirnya aku sendiri lupa untuk siapa aku menerangi, hingga pada akhirnya aku lupa untuk siapa aku ada. Aku merindukan hujan itu. Hujan yang mengkaratkan diriku. Aku rindu cahayaku menghangatkan hujan yang sejatinya tak pernah tercipta untukku."


"Apa aku salah merindukan sesuatu yang merusak diriku sendiri? Aku tidak menyesal, aku tidak marah. Walaupun harus lusuh besiku, walaupun harus padam cahayaku, setidaknya aku tahu bahwa rindu ini selalu mengajarkanku arti untuk mensyukuri hidup" Hening Mendengar itu aku terdiam menatap penuh nanar kepada sang lampu jalanan. Lampu yang dulu terkenal ceria dan terang, kini hanya menjadi besi tua berkarat dengan bohlam kecil padamnya. Tak ada seorangpun yang tahu rindu sebesar apa yang ia derita. Sehingga ia memutuskan untuk tetap bertahan sampai titik sinar terakhirnya itu.

Setelah menjawab pertanyaanku tadi, kini lampunya benar-benar mati. Dia benar-benar mati. Dia mati dalam rasa yang ia ciptakan sendiri.

No comments:

Post a Comment

Astronot

Aahhh menyebalkan. Apa aku harus jadi astronot biar bisa menggapaimu hey bintang. Ketika kecil dulu sempat cita-cita pertama yang terlintas ...