Aahhh menyebalkan. Apa aku harus jadi astronot biar bisa menggapaimu hey bintang. Ketika kecil dulu sempat cita-cita pertama yang terlintas ingin menjadi astronot. Suatu mimpi yang begitu mustahil menurutku. Ku kira menjadi astronot keren, kita terbang di ruang tanpa gravitasi. Melihat semesta dan jagat raya. Melihat benda-benda berkilauan yang kita sebut di bumi sebagai bintang. Itulah kenapa alasan aku ingin jadi astronot dulu.
Dan hey, sekarang aku juga ingin melihat bintang. Tapi apakah mustahil juga bagiku? Entahlah, bintang hanya sekedar lewat di alur hidupku. Dan aku hanya seorang diri yg mungkin mengistimewakan keberadaannya. Sampai kapan bintang akan menetap? Husss jangan terlalu larut dalam pikiranku. Pergilah selagi dini.
Seekor Badut
Sunday, 2 August 2020
Saturday, 18 July 2020
Bintang
Pernahkah kau minum Americano? aku baru pertama kali ketika minum bersamamu. Secangkir Americano waktu itu pahit tapi dengan melihatmu di depan kursi yang aku duduki rasanya begitu manis. Kafein. Kukira efek kafein itu tak akan bekerja, jantung ini sudah lama tak bergerak kencang, dan kau dengan kurang ajar menciptakan efek kafein itu.
Kukira ini benar-benar karena minum kopi. Tapi esoknya jantung ini terus berdetak tak normal, esoknya lagi masih sama, dan esoknya lagi hingga kini jantung ini terus berdetak tak karuan. Gila, aku benar2 akan jadi gila. Siapa kau? Aku tahu kita hanya sepasang manusia yang bahkan tak sengaja saling bertemu. Aku tak mengenalmu kamu juga tak mengenalku. Kita hanya bertemu karena seorang teman yang mengenalmu.
Tak bisakah waktu diputar ulang? Tepat di hari 21 hidupku Tuhan mempertemukan aku denganmu. Aku tak tahu buruk atau baik. Tapi aku hanya ingin waktu kembali di masa itu. Aku hanya ingin lebih lama bertatap wajah dengan mu sambil mendengarkan kau mengobrol dengan teman lamamu dan membiarkanku sebagai pendengar. Tak bisakah kita kembali ke masa itu?
Kukira ini benar-benar karena minum kopi. Tapi esoknya jantung ini terus berdetak tak normal, esoknya lagi masih sama, dan esoknya lagi hingga kini jantung ini terus berdetak tak karuan. Gila, aku benar2 akan jadi gila. Siapa kau? Aku tahu kita hanya sepasang manusia yang bahkan tak sengaja saling bertemu. Aku tak mengenalmu kamu juga tak mengenalku. Kita hanya bertemu karena seorang teman yang mengenalmu.
Tak bisakah waktu diputar ulang? Tepat di hari 21 hidupku Tuhan mempertemukan aku denganmu. Aku tak tahu buruk atau baik. Tapi aku hanya ingin waktu kembali di masa itu. Aku hanya ingin lebih lama bertatap wajah dengan mu sambil mendengarkan kau mengobrol dengan teman lamamu dan membiarkanku sebagai pendengar. Tak bisakah kita kembali ke masa itu?
Wednesday, 27 May 2020
Manusia Egois
Pandemi Corona membuatku muak. Sudah setengah tahun dunia dibuat geram olehnya. Setiap detik menggerogoti ribuan umat manusia. Bahkan sampai hari ini ia tak membiarkan kita bernafas dengan lega. Dunia memang benar-benar dikutuk olehnya. Jutaan manusia mengeluhkan kapan Corona selesai? Tapi jutaan manusia pula menyepelekan anjuran untuk memutus rantainya. Kini tidak hanya muak kepada Corona tapi muak juga dengan tingkah para manusia. Indonesia terserah. Itu terjadi dinegara kita salah satunya. Sampai detik ini manusia-manusia yang entah punya otak atau tidak terus menerus mengeluhkan Corona, tapi dalam dirinya tak melakukan tindakan sebagaimana mestinya. Seolah menyepelakan karena diri sendiri belum tertular virus tersebut. Hanya memperdulikan diri sendiri walau sudah ribuan kali melihat penderitaan orang lain. Enggan belajar dari kasus malapetaka yang sudah dialami negara-negara lain. Entah benar-benar bodoh atau pura-pura bodoh. Tindakan mereka terlewat batas menutupi harapan sembuhnya pandemi ini. Menciptakan keputusasaan bagi orang-orang yang masih berharap. Melahirkan kepasrahan bagi orang-orang yang telah berjuang.
MUDIK. kita semua tau itu tradisi tiap tahun yang tidak pernah ditinggalkan. Pulang kerumah, berkumpul dengan keluarga melepas rindu setelah beberapa lama tidak bertemu. Kita dibuat gila dengan adanya virus Corona . Tak mau mengalah dari keadaan, memaksakan apa yg seharusnya tidak dipaksakan. Pemerintah melarang untuk tidak mudik dulu untuk tahun ini. Tapi peduli setan semua orang tutup telinga seolah tuli, semua orang berbondong-bondong ke bandara, stasiun, terminal dan pergi dengan kendaraan pribadi.
MUDIK. kita semua tau itu tradisi tiap tahun yang tidak pernah ditinggalkan. Pulang kerumah, berkumpul dengan keluarga melepas rindu setelah beberapa lama tidak bertemu. Kita dibuat gila dengan adanya virus Corona . Tak mau mengalah dari keadaan, memaksakan apa yg seharusnya tidak dipaksakan. Pemerintah melarang untuk tidak mudik dulu untuk tahun ini. Tapi peduli setan semua orang tutup telinga seolah tuli, semua orang berbondong-bondong ke bandara, stasiun, terminal dan pergi dengan kendaraan pribadi.
Monday, 20 April 2020
Menyapa Ibu Kota ( Menghirup polusi Jakarta)
Januari 2020. Sebelum Covid-19 berkunjung dan menetap sampai sekarang. Dasar Virus tak tahu malu!
Suara klakson saling bersahutan saking bencinya kemacetan. Lampu sein belok kanan malah serobot kiri menjadi hal wajar biasa dilakukan. Atmosfer panas yang dibicarakan orang-orang memeng benar, ketika saya keluar stasiun, panas mulai mencengkram padahal musim hujan. Kota ini tidak direkomendasikan bagi orang-orang yang menyukai ketenangan karena disetiap sudut jalan anehnya suara klakson selalu bersahutan. BERISIK dan panas.
Saya ke Jakarta bukan untuk minggat. Mendengar ibu kota akan pindah saya merasa cukup perlu untuk bisa menginjakan kaki. Selain itu saya juga ingin tahu bagaimana kehidupan kota metropolitan satu ini yang katanya selalu macet, banjir, dan tak pernah tidur ini.
Seperti biasa kereta selalu jadi transportasi favorite untuk bepergian. Berangkat dari stasiun Bandung menuju stasiun Gambir . Tidak memakan banyak waktu, karena Bandung-Jakarta cukup dekat. Seperti biasa saya juga tidak banyak membawa uang walau ini JAKARTA yang katanya biaya hidup mahal. Akhirnya sampai di Jakarta saya naik busway karena naik ojek online terlalu mahal.
Ini pertama kalinya saya naik busway. Untuk orang awam saya tidak tahu apa-apa. rute perjalanan dan harus berhenti dimana saya juga tidak tahu. Kebetulan saya ada teman yang tinggal di Jakarta waktu itu, tepatnya Jakarta Barat daerah Kapuk, dan itu cukup jauh dari Stasiun pemberhentian. Akhirnya dengan modal hanya tahu nama halte terdekatnya saya memberanikan diri untuk naik transportasi umum ini. Lumayan cuma butuh Rp.3500 sudah sampai tujuan. Setelah bertanya jujur saya seperti orang bego. Seperti anak hilang. Saya tidak langsung paham bagaimana rutenya. Berkali-kali setiap busway datang saya selalu bertanya kepada petugas halte apakah itu bisa mengantar ke halte tujuan. Ok saya sudah masuk busway dan harus transit satu kali. Keadaan itu lagi-lagi membuat saya bego, pasalnya di halte berikutnya terlalu banyak busway yang berdatangan juga. Untuk orang yang tidak mengenal kota ini saya cukup takut dengan situasi semacam ini. Takut hilang dan nyasar di kota orang. Akan tetapi untungnya tuhan melindungi sehingga saya sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Begitulah, hematku mengalahkan rasa takutku. Tidak buruk juga untuk dijadikan pengalaman.
Dihari berikutnya saya juga pergi ke Monas, Kota Tua, Bundaran HI dan Gelora Bung Karno. Sekadar ingin tahu dan mumpung sedang berada di Jakarta rasanya perlu untuk mampir dan mengambil beberapa foto disana. Dan ini hasil jepretan saya.
Perjalanan mampir ke Jakarta ini dilakukan sebelum Coovid-19 melanda, Jakarta waktu itu hidup seperti yang kita tahu. Ramai dan berisik. Dan kini Jakarta dibuat terdiam sejenak oleh tuhan. Jakarta dibiarkan Istirahat sedikit panjang dari ramainya orang dan kendaraan. Jakarta Rehat. Jakarta Semoga lekas sehat.
Suara klakson saling bersahutan saking bencinya kemacetan. Lampu sein belok kanan malah serobot kiri menjadi hal wajar biasa dilakukan. Atmosfer panas yang dibicarakan orang-orang memeng benar, ketika saya keluar stasiun, panas mulai mencengkram padahal musim hujan. Kota ini tidak direkomendasikan bagi orang-orang yang menyukai ketenangan karena disetiap sudut jalan anehnya suara klakson selalu bersahutan. BERISIK dan panas.
Saya ke Jakarta bukan untuk minggat. Mendengar ibu kota akan pindah saya merasa cukup perlu untuk bisa menginjakan kaki. Selain itu saya juga ingin tahu bagaimana kehidupan kota metropolitan satu ini yang katanya selalu macet, banjir, dan tak pernah tidur ini.
Seperti biasa kereta selalu jadi transportasi favorite untuk bepergian. Berangkat dari stasiun Bandung menuju stasiun Gambir . Tidak memakan banyak waktu, karena Bandung-Jakarta cukup dekat. Seperti biasa saya juga tidak banyak membawa uang walau ini JAKARTA yang katanya biaya hidup mahal. Akhirnya sampai di Jakarta saya naik busway karena naik ojek online terlalu mahal.
Ini pertama kalinya saya naik busway. Untuk orang awam saya tidak tahu apa-apa. rute perjalanan dan harus berhenti dimana saya juga tidak tahu. Kebetulan saya ada teman yang tinggal di Jakarta waktu itu, tepatnya Jakarta Barat daerah Kapuk, dan itu cukup jauh dari Stasiun pemberhentian. Akhirnya dengan modal hanya tahu nama halte terdekatnya saya memberanikan diri untuk naik transportasi umum ini. Lumayan cuma butuh Rp.3500 sudah sampai tujuan. Setelah bertanya jujur saya seperti orang bego. Seperti anak hilang. Saya tidak langsung paham bagaimana rutenya. Berkali-kali setiap busway datang saya selalu bertanya kepada petugas halte apakah itu bisa mengantar ke halte tujuan. Ok saya sudah masuk busway dan harus transit satu kali. Keadaan itu lagi-lagi membuat saya bego, pasalnya di halte berikutnya terlalu banyak busway yang berdatangan juga. Untuk orang yang tidak mengenal kota ini saya cukup takut dengan situasi semacam ini. Takut hilang dan nyasar di kota orang. Akan tetapi untungnya tuhan melindungi sehingga saya sampai ke tempat tujuan dengan selamat. Begitulah, hematku mengalahkan rasa takutku. Tidak buruk juga untuk dijadikan pengalaman.
Dihari berikutnya saya juga pergi ke Monas, Kota Tua, Bundaran HI dan Gelora Bung Karno. Sekadar ingin tahu dan mumpung sedang berada di Jakarta rasanya perlu untuk mampir dan mengambil beberapa foto disana. Dan ini hasil jepretan saya.
Perjalanan mampir ke Jakarta ini dilakukan sebelum Coovid-19 melanda, Jakarta waktu itu hidup seperti yang kita tahu. Ramai dan berisik. Dan kini Jakarta dibuat terdiam sejenak oleh tuhan. Jakarta dibiarkan Istirahat sedikit panjang dari ramainya orang dan kendaraan. Jakarta Rehat. Jakarta Semoga lekas sehat.
Awal Pelarian ( Hallo Jogja?)
Gerbong kereta ekonomi sudah tiba. Kursi 90° tak begitu buruk bagi seseorang yang berjalan sendirian dengan minim budget. Tidak harus beli tiket mahal. Biarlah punggung ini pegal, kaki kesemutan, dan terlelap sebentar tepat berhadapan dengan orang tak dikenal. Apa yang aku cari dari perjalanan ini? Kurasa kalian tahu, sebuah awal Pelarian setelah hati yang patah adalah pemulihan. Apa dengan melarikan diri akan pulih? Entahlah.
Tanggal 17 Agustus 2019. Tepat saat hari kemerdekaan Indonesia. Dan saya sebaliknya, masih terjajah. Saya pergi setelah cukup lelah terjebak oleh rasa sakit hati dan terjebak oleh rutinitas yang memuakan. Sudah hampir satu tahun, tapi dengan bodohnya saya terus tidak memerdekakan diri. Membiarkan diri terjajah, padahal yang menjajah sudah enyah dari ruang ini. Melelahkan bukan?
Perjalanan 2 hari satu malam dimulai. Dengan modal uang 500rb saya minggat, dan memilih Jogja untuk kota pertama saya. Tidak perlu menunggu tabungan terkumpul, uang pas-pasan asal cukup untuk biaya transportasi dan makan saya cukup berani untuk memulai perjalanan. Karena saya disini untuk minggat bukan untuk liburan. Dan percayalah, minggat ini cukup membuat saya sadar bahwa hidup saya benar-benar monoton. Dan sejenak saya bisa melupakan ingatan tentang si penjajah yang masih bersarang itu.
Saya sampai dikota istimewa ini, dengan membawa tas ransel kecil dan totbag isi makanan. Mengambil kereta pagi dan sampai sore hari. Bandung-Jogja memakan waktu cukup lama, cukup pegal juga badanku dibuatnya. Sampai di Jogja aku tak tau harus bagaimana. Berencana bertemu dengan seorang teman ditengah kota. Keadaan waktu itu cukup ramai karena bertepatan dengan pesta rakyat hari kemerdekaan dan orang-orang tentunya akan keluar untuk merayakan. Kita bertemu dan hanya berjalan-jalan tidak jelas menyusuri trotoar Malioboro. Tidak belanja ataupun menyentuh barang. Yang saya lakukan hanya jalan, duduk lalu makan sate pinggir jalan. Mendengarkan orang tawar-menawar, suara kudu yang kelelahan dan ajakan tukang becak sepanjang jalan. Sambil menikmati suasana malam kota dan lalulalang manusia. Malioboro kala itu begitu terang dipenuhi lampu-lampu jalanan. Begitu ramai tapi tidak menyesakan, begitu berisik tapi tidak mengusik. Kota ini sepertinya tahu harus berjalan seperti apa. Maka ku buang semua beban yang berat , semua rasa yang menjerat, dan semua angan yang tersirat. Ku buang semua yang merugi, membebani, dan merusak diri.
Tanggal 17 Agustus 2019. Tepat saat hari kemerdekaan Indonesia. Dan saya sebaliknya, masih terjajah. Saya pergi setelah cukup lelah terjebak oleh rasa sakit hati dan terjebak oleh rutinitas yang memuakan. Sudah hampir satu tahun, tapi dengan bodohnya saya terus tidak memerdekakan diri. Membiarkan diri terjajah, padahal yang menjajah sudah enyah dari ruang ini. Melelahkan bukan?
Perjalanan 2 hari satu malam dimulai. Dengan modal uang 500rb saya minggat, dan memilih Jogja untuk kota pertama saya. Tidak perlu menunggu tabungan terkumpul, uang pas-pasan asal cukup untuk biaya transportasi dan makan saya cukup berani untuk memulai perjalanan. Karena saya disini untuk minggat bukan untuk liburan. Dan percayalah, minggat ini cukup membuat saya sadar bahwa hidup saya benar-benar monoton. Dan sejenak saya bisa melupakan ingatan tentang si penjajah yang masih bersarang itu.
Saya sampai dikota istimewa ini, dengan membawa tas ransel kecil dan totbag isi makanan. Mengambil kereta pagi dan sampai sore hari. Bandung-Jogja memakan waktu cukup lama, cukup pegal juga badanku dibuatnya. Sampai di Jogja aku tak tau harus bagaimana. Berencana bertemu dengan seorang teman ditengah kota. Keadaan waktu itu cukup ramai karena bertepatan dengan pesta rakyat hari kemerdekaan dan orang-orang tentunya akan keluar untuk merayakan. Kita bertemu dan hanya berjalan-jalan tidak jelas menyusuri trotoar Malioboro. Tidak belanja ataupun menyentuh barang. Yang saya lakukan hanya jalan, duduk lalu makan sate pinggir jalan. Mendengarkan orang tawar-menawar, suara kudu yang kelelahan dan ajakan tukang becak sepanjang jalan. Sambil menikmati suasana malam kota dan lalulalang manusia. Malioboro kala itu begitu terang dipenuhi lampu-lampu jalanan. Begitu ramai tapi tidak menyesakan, begitu berisik tapi tidak mengusik. Kota ini sepertinya tahu harus berjalan seperti apa. Maka ku buang semua beban yang berat , semua rasa yang menjerat, dan semua angan yang tersirat. Ku buang semua yang merugi, membebani, dan merusak diri.
Friday, 17 April 2020
Perkenalan Singkat
Hallo beberapa ekor manusia yang belum mengenal saya. Saya akan memperkenalkan diri, sedikit terlambat karena perkenalkan tidak saya lakukan di awal. Untuk sekadar memberi tahu saya menulis awal tahun 2015. Sedikit sudah saya jelaskan di blog sebelumnya. Saya lahir 12 Juli 1999. Lahir di Cilacap, besar di Banjar. Saya sudah lulus dan Saya sekarang bekerja di Kota Cimahi tapi tinggal di Kota Bandung. Zona perbatasan mungkin jadinya. Saya bekerja di bagian office sebuah perusahaan industri. Setiap hari saya selalu melakukan pekerjaan monoton. Selalu mengantuk saat bekerja karena setiap hari dijejali dengan data yang itu-itu saja. Saya sekarang belum move on dan masih terjajah setelah hampir 2 tahun. Bodoh. Saya seekor badut yang gabut dan saya butuh cara untuk memerdekakan diri. Bagaimana caranya? Saya juga gak tau. Bersambung.
Thursday, 16 April 2020
Jiwa yang terjajah
Sepinya malam kelam melebarkan sayapnya inilah saat yang benar-benar mengerikan, bagian dari waktu yang memiliki kekuatan penuh menerjemahkan. Pada saat seperti ini hening melingkup segala. Akan terdengar bagi mereka yang mencintai keheningan bahwa malam lebih bernyawa melantunkan desah angin yang tergesek pada daun-daunan.
Dari langit yang jauh, pada saat malam kelam mengepung itu terlihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah dibawah sana. Rumah-rumah itu tampak seperti butir-butir mutiara yang berkilauan. Sebab, dari setiap rumah memancarkan cahaya lampu yang sengaja tidak dipadamkan.
Ditengah malam ditemani angin yang menusuk tak sengaja sejenak berfikir. Rasa ini tak diundang namun terus berdatangan. Terus berfikir membuatku bodoh. Apa dengan melarikan diri kita bisa lupa dengan hal-hal yg membuat kita merasa patah. Memulai perjalanan seorang diri. Mengikis perasaan sia-sia yang hanya akan merugikan diri sendiri. Sudah cukup lama. Tapi kau bahkan tak kunjung pergi dari ruang ini. Kau terlalu angkuh untukku usik. Hingga detik ini aku dengan bodohnya masih saja memikirkan mu. Kau tak tau tenggorokan ku seperti tertusuk pecahan kaca ketika teringat kenangan dengan mu.
Dari langit yang jauh, pada saat malam kelam mengepung itu terlihat rumah-rumah terhampar acak pada suatu wilayah dibawah sana. Rumah-rumah itu tampak seperti butir-butir mutiara yang berkilauan. Sebab, dari setiap rumah memancarkan cahaya lampu yang sengaja tidak dipadamkan.
Ditengah malam ditemani angin yang menusuk tak sengaja sejenak berfikir. Rasa ini tak diundang namun terus berdatangan. Terus berfikir membuatku bodoh. Apa dengan melarikan diri kita bisa lupa dengan hal-hal yg membuat kita merasa patah. Memulai perjalanan seorang diri. Mengikis perasaan sia-sia yang hanya akan merugikan diri sendiri. Sudah cukup lama. Tapi kau bahkan tak kunjung pergi dari ruang ini. Kau terlalu angkuh untukku usik. Hingga detik ini aku dengan bodohnya masih saja memikirkan mu. Kau tak tau tenggorokan ku seperti tertusuk pecahan kaca ketika teringat kenangan dengan mu.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Astronot
Aahhh menyebalkan. Apa aku harus jadi astronot biar bisa menggapaimu hey bintang. Ketika kecil dulu sempat cita-cita pertama yang terlintas ...
-
"Aku mencintaimu dalam diam, dengan isyarat yang tak akan pernah tertangkap oleh indra. Aku tahu memiliki rasa ini adalah sebuah k...
-
Ada sebuah ungkapan yang menyebutkan apalah arti sebuah nama, namun sadar atau tidak semenjak lahir kedunia ini seorang sosok manusia past...
-
Jalan diluar waktu itu sedang lucu-lucunya. Hujan memang tak tahu malu, meski sudah dimaki banyak orang ribuan kali. Walaupun hujan hany...